Sebagai seorang Muslim, kita telah diperintahkan oleh Allah SWT untuk
melaksanakan ibadah kepada-Nya. Akan tetapi, Umat Islam dalam
melaksanakan ibadah kepada Allah SWT Telah ditentukan kapan melaksanakan
ibadah tersebut. Seperti halnya shaum, baik shaum sunat atupun shaum
wajib keduanya telah ditentukan tanggal dan bulan pelaksanannya.
Contohnya shaum Ramadhan, shaum Tasu’a Asyuro dan shaum sunat lainnya.
Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat
183-184
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,
(yaitu) dalam beberapa hari yang ditentukan. (Depag, 2005 : 28)
Atau seperti halnya shalat yang waktu pelaksannya telah Allah tentukan.
Allah Swt berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nisaa ayat 103
فَإِذَا
قَضَيْتُمُ الصَّلاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى
جُنُوبِكُمْ فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ
إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
Artinya: “Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah
Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. kemudian
apabila kamu telah merasa aman, Maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana
biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya
atas orang-orang yang beriman”. (Depag, 2005 : 95)
Perlu kita ketahui, saat ini umat Islam dalam melaksanakan shaum atau
ibadah yang lainya seperti Haji, Idul adha dan Idul fitri selalu
mengacu pada Kalender Hijriyah atau Almanak Islam bukan kepada Kalender
Nasional atau Kalender Masehi. Maka sangat mudahlah umat Islam dalam
melaksanakan ibadah tersebut. Karena mereka hanya melihat kalender
hijriyah tanpa adanya usaha dalam perhitungannya ketika mereka khendak
melaksanakan ibadah tersebut.
Padahal apabila kita meneliti dan mempelajari asal usul Almanak Islam
yang dipakai saat ini, maka kita akan mengetahui betapa sulitnya
seseorang dalam menentukan kapan terjadinya awal bulan, berapa hari
dalam satu bulan, dan kapan batas akhir bulan hijriyah tersebut.
Tentu hal ini tidak terlepas dari metode memperhitungkan pergerakan
atau peredaran benda langit dalam suatu data yang tersaji dari
pengamatan yang dilakukan beberapa dekade, yang metode itu dinamakan
dengan metode Hisab. Akan tetapi, apabila dilihat secara sepintas hal
ini sangatlah bertentangan dengan apa yang Rasulullah SAW kerjakan.
Pada zaman Rasulullah SAW, segala permasalahan akan teratasi dengan
mudah. Karena pada saat itu hanya Rasulullah-lah yang mampu menjawab
segala permasalahan yang muncul. Sepertihalnya permasalahan dalam
menentukan awal bulan hijriyah ini, Rasulullah hanya memerintahkan untuk
melihat ke langit bagian ufuk barat, apakah bulan sabit muda (hilal)
telah nampak atau belum. Maka metode ini terlihat sangat mudah bukan?.
Landasan metode ini sesuai dengan firman Allah SWT. Dalam surat Al-Baqarah ayat 189
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah:
“bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah)
haji”. (Depag, 2005 : 29)
Dan juga metode ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW. Dalam hadits
yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang diterima dari Ibnu Umar
yang Artinya: “Rasulullah SAW bersabda: Apabila kamu melihat hilal (di
awal Ramadhan) maka berpuasalah, dan apabila kamu melihat hilal (di awal
bulan Syawal) maka berbukalah, tetapi jika mendung (sehingga tidak
terlihat) maka kadarkanlah (sempurnakanlah)”.
Maka berdasarkan ketentuan-ketentuan itulah terciptanya metode rukyat
dalam menentukan awal bulan hijriyah. Secara garis besar, penentuan
awal bulan dalam kalender hijriyah ini hanya mengunakan dua metode saja,
yaitu metode rukyat dan metode hisab. Akan tetapi, dalam menentukan
awal bulan hijriyah ini seringkali terjadi perbedaan antara hasil
perhitungan dari metode hisab dengan hasil observasi yang dilakukan oleh
metode rukyat. Padahal, kedua metode tersebut seharusnya saling
berkaitan dan saling melengkapi satu sama lainnya. Apabila kedua metode
ini menghasilkan penentuan awal bulan hijriyah yang berbeda, maka secara
otomatis umat Islam akan berbeda pula dalam melaksanakan ibadah shaum
dan berhari raya. Contohnya, Persis dengan Muhammadiyyah atau dengan
Nahdatul Ulama (NU). Ketiga ormas ini mempunyai metode dan ketentuan
yang berbeda dalam menentukan awal bulan hijriyah ini. Sehingga
seringkali ketiganya berbeda tanggal dan hari dalam melaksanakan shaum
atau berhari raya. Terjadinya perbedaan tersebut, masyarakat luas pada
umumnya langsung menyimpulkan bahwa penyebabnya tiada lain adalah
perbedaan antara madzhab hisab dengan madzhab rukyat. Akan tetapi, tidak
semua ikhtilaf itu disebabkan berbedanya madzhab, melainkan perbedaan
tersebut sering terjadi pula karena perbedaan internal antara metode
hisab maupun metode rukyat. Masyarakat Islam, khususnya di Indonesia
sering dibingungkan dengan hisab dan rukyat ini. Sebab menurut pandangan
mereka, lahirnya metode hisab dikarenakan hasil observasi rukyat.
Sepintas pernyataan ini benar, tetapi apabila kita mengetahui makna dari
hisab dan rukyat maka keduanya sangatlah berbeda, sebab metode rukyat
dalam menentukan awal bulan hijriyah tidak akan melahirkan metode hisab
akan tetapi metode hisab ini terlahir dari pengamatan peredaran benda
langit bukan kenampakan hilal. Oleh karena itu kita harus paham terlebih
dahulu apa metode hisab dan apa metode rukyat dalam menentukan awal
bulan hijriyah.
Pengertian Metode Hisab
Hisab berasal dari kata “hasaba” yang artinya menghitung, mengira dan membilang. Jadi, hisab adalah hitungan, kiraan dan bilangan. (Rukyatulhilal [TN], 2005:1).
Kata hisab banyak terdapat dalam Al-Qur’an, diantaranya mengandung
makna perhitungan perbuatan manusia. Akan tetapi, dalam disiplin ilmu
falaq (Astronomi) kata hisab mengandung arti sebagai ilmu hitung posisi
benda-benda langit. Posisi benda langit yang dimaksud adalah peredaran
bulan, bumi dan matahari. Karena dalam peredarannya, umat manusia dapat
mengetahui awal bulan hijriyah ataupun masehi serta mengetahui waktu
dalam melaksanakan ibadah seperti sholat, shaum, beribadah haji ataupun
yang lainnya. Sehingga, hisab ini sering dinamakan dengan falaq syar’i
yaitu perhitungan yang dilakukan untuk kegiatan ibadah yang telah
ditetapkan waktunya.
Hisab bermakna melihat dengan ilmu atau melakukan perhitungan
peredaran bumi terhadap matahari dan bulan pada bumi (Farid Ruskanda,
1995:19).
Dalam Wikipedia yang merupakan kamus besar online dalam
internet, hisab adalah perhitungan secara matematis untuk mengetahui
posisi bulan dalam menentukan dimulainya awal bulan pada kalender
hijriyah (Wikipedia [TN], 2008: 1).
Secara harfiyah, hisab bermakna perhitungan. Di dunia Islam, istilah
“hisab” sering digunakan dalam ilmu falaq (astronomi) untuk
memperkirakan posisi matahari dan bulan terhadap bumi. Allah SWT
berfirman dalam Al-Qur’an surat Yunus ayat 5 yang berbunyi:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ
وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللَّهُ ذَلِكَ إِلا بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Artinya: Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan
bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi
perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan
perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan
dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada
orang-orang yang mengetahui. (Depag, 2005 : 208)
Dan dalam surat Ar-Rahman ayat 5:
Artinya: “Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan”. (Depag, 2005 : 531)
Dalam kedua ayat tersebut, Allah SWT telah menciptakan matahari dan
bulan beredar pada porosnya sehingga menjadi acuan dalam memperhitungkan
tahun.
Jadi, yang dimaksud dengan metode hisab adalah metode memperhitungkan
pergerakan atau peredaran benda langit dalam suatu data yang tersaji
dari pengamatan yang dilakukan beberapa dekade untuk mengetahui posisi
hilal yang menentukan awal bulan hijriyah.
Sejarah Dan Perkembangan Metode Hisab
Dalam khazanah intelektual Islam klasik, ilmu falak sering disebut
dengan ilmu hisab, miqat, rasd, dan hai’ah. Dan sering pula disamakan
dengan astronomi atau “falak ilmi”. Namun dalam perjalanannya ilmu hisab
hanya mengkaji persoalan-persoalan ibadah, seperti arah kiblat, waktu
salat, awal bulan, dan gerhana. Dr. Yahya Syami dalam bukunya yang
berjudulIlmu Falak Safhat min at-Turats al-Ilmiy al-Arabiy wa al-Islamiy
(1997) memetakan sejarah perkembangan ilmu hisab menjadi dua fase,
yaitu fase pra-Islam (Mesir Kuno, Mesopotamia, Cina, India, Perancis,
dan Yunani) dan fase Islam.
Fase Islam ditandai dengan proses penerjemahan karya-karya monumental
dari bangsa Yunani ke dalam bahasa Arab. Karya-karya bangsa Yunani yang
sangat mempengaruhi perkembangan hisab di dunia Islam adalah The Sphere in Movement (Al-Kurrah al-Mutaharrikah) karya Antolycus, Ascentions of The Signs (Matali’ al-Buruj) karya Aratus, Introduction to Astronomy (Al-Madhkhal ila Ilmi al-Falak) karya Hipparchus, danAlmagesty karya Ptolomeus.
Pada saat itu, kitab-kitab tersebut tak hanya diterjemahkan tetapi
ditindaklanjuti melalui penelitian-penelitian dan akhirnya menghasilkan
teori-teori baru. Dari sini muncul tokoh falak di kalangan umat Islam
yang sangat berpengaruh, yaitu Al-Khwarizmi dengan magnum opusnya Kitab al-Mukhtashar fi Hisab al-Jabr wa al-Muqabalah.
Buku ini sangat mempengaruhi pemikiran cendekiawan–cendekiawan Eropa
dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Robert Chester
pada tahun 535 H/ 1140 M dengan judul Liber algebras et almucabala, dan
pada tahun 1247 H/ 1831 M diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh
Frederic Rosen.
Selain al-Khwarizmi, tokoh-tokoh yang ikut membangun dan
mengembangkan ilmu falak, diantaranya Abu Ma’syar al-Falakiy (Wafat
tahun 272 H/ 885 M) menulis kitab yang berjudulHaiatul Falak, Abu Raihan al-Biruni (363-440 H/973-1048 M) dengan kitabnya al-Qanun al-Mas’udi, Nasiruddin at-Tusi (598-673 H/1201-1274 M) dengan karya monumentalnya at-Tadzkirah fi ‘Ilmi al-Haiah, dan Muhammad Turghay Ulughbek (797-853 H/1394-1449 M) yang menyusun Zij Sulthani.
Karya-karya monumental tersebut sebagian besar masih berupa manuskrip
dan lembaran-lembaran yang kusam dan kini tersimpan di Ma’had
al-Makhtutat al-’Arabiy Kairo-Mesir.
Di Indonesia ilmu falak juga berkembang pesat. Dalam Ensiklopedi
Islam Indonesia dinyatakan bahwa ulama yang pertama terkenal sebagai
bapak falak Indonesia adalah Syekh Taher Jalaluddin al-Azhari. Namun,
berdasarkan data historis sebenarnya selain Syekh Taher Jalaluddin pada
masa itu juga ada tokoh-tokoh falak yang sangat berpengaruh, seperti
Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, Ahmad
Rifa’i, dan K.H. Sholeh Darat.
Selanjutnya perkembangan ilmu falak di Indonesia dipelopori oleh K.H.
Ahmad Dahlan dan Jamil Djambek. Kemudian diteruskan oleh anaknya Siraj
Dahlan dan Saadoe’ddin Djambek (1330-1398 H/ 1911-1977 M). Diantara
murid Saado’eddin yang menjadi tokoh falak adalah H. Abdur Rachim.
Beliau adalah salah seorang ahli falak Muhammadiyah yang sangat
disegani.
Macam-Macam Hisab yang Digunakan Dalam Menentukan Awal Bulan Hijriyah
Terdapat banyak metode hisab untuk menentukan posisi bulan, matahari
dan benda langit yang lainnya dalam ilmu falaq. System hisab ini
dibedakan berdasarkan metode yang digunakan dengan tingkat ketelitian
yang tinggi dan keberlakuan tempat mengenai hasil perhitungan, karena
hasil hisab dapat berlaku didaerah perhitungannya ataupun hasil
perhitungan dapat dipakai oleh luar daerah bahkan cakupan internasional.
a. Hisab Urfi
“Urfi” berarti kebiasaan atau kelaziman (Farid Ruskanda, 1995: 17).
Hisab Urfi adalah hisab yang melandasi perhitungannya dengan
kaidah-kaidah sederhana. Pada system hisab ini, perhitungan bulan
qomariah ditentukan berdasarkan umur rata-rata bulan sehingga umur bulan
dalam setahun qomariah barvariatif diantara 29 dan 30 hari.
Pada system hisab urfi ini, bulan yang bernomor ganjil dimulai dari
bulan Muharram berjumlah 30 hari, sedangkan bulan yang bernomor genap
dimulai dari bulan Shafar berjumlah 29 hari. Tetapi khusus bulan
Dzulhijjah (bulan ke-12) pada tahun kabisat berjumlah 30 hari. Dalam
hisab urfi juga mempunyai siklus 30 tahun (1 daur) yang di dalamnya
terdapat 11 tahun yang disebut tahun kabisat (panjang) memiliki 355 hari
pertahunnya dan 19 tahun yang disebut tahun basithah (pendek) memilik
354 hari pertahunnya. Tahun kabisat ini terdapat pada tahun ke-2, 5, 7,
10, 13, 16, 18, 21, 24, 26 dan ke-29 dari keseluruhan selama 1 daur (30
hari). Dengan demikian, periode umur bulan menurut hisab urfi adalah (11
X 355 hari) + (19 X 354 hari) : (12 X 30 tahun) = 29 hari 12 jam 44
menit, walau terlihat sudah cukup teliti, namun yang menjadi masalah
adalah aturan 29 dan 30 hari serta aturan kabisat yang tidak menunjukan
posisi bulan yang sebenarnya dan sifatnya hanya pendekatan saja. Oleh
sebab itulah, maka system hisab urfi ini tidak dapat dijadikan acuan
untuk penentuan awal bulan yang berkaitan dengan ibadah misalnya bulan
Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah.
b. Hisab Taqribi
Dalam bahasa arab, “Taqrobu” berarti pendekatan atau
aprokmasi. Hisab taqribi adalah sistem hisab yang sudah menggunakan
kaidah-kaidah astronomis dan matematis, namun masih menggunakan
rumus-rumus sederhana sehingga hasilnya kurang teliti. System hisab ini
merupakan warisan dari para Ilmuan Falaq Islam masa lalu dan hingga
sekarang system hisab ini menjadi acuan pembelajaran hisab di berbagai
pesantren di Indonesia.
Hasil hisab Taqribi akan mudah dikenali pada saat penentuan ijtima
dan tinggi hilal menjelang tanggal satu bulan qomariah, yaitu
terlihatnya selisih yang cukup besar apabila dibandingkan dengan
perhitungan astronomis modern.
Beberapa kitab ilmu falaq yang berkembang di Indonesia yang termasuk kategori hisab taqribi ini adalah Sullam An-Nayiroin, Ittifadzatilal-Banin, Fathul Ar-rufdiul mannan, Al-qiwaid Al-falaqiyah dan lain sebagainya.
c. Hisab Haqiqi
Haqiqi berarti realitas atau yang sebenarnya, system hisab haqiqi ini
sudah mulai menggunakan kaidah-kaidah astronomis dan matematis serta
rumus-rumus terbaru dilengkapi dengan data-data astronomis terbaru
sehingga memiliki tingkat ketelitian standar. Hanya saja, kelemahan dari
system hisab ini ketika menggunakan kalkulator yang mengekibatkan digit
angka hasil hisab kurang sempurna karena banyak bilangan yang terpotong
akibat jumlah digit kalkulator yang terbatas. Beberapa system hisab
haqiqi yang berkembang di Indonesia diantaranya adalah: Hisab haqiqi, Tadzkiroh Al-ihwan Badi’ah Al-mitsal dan Menara Qudus An-nahij Al-hamidiyah Al-khuasial Wafiyah dan lain sebagainya.
d. Hisab Haqiqi Tahqiqi
Hisab ini Merupakan pengembangan dari system hisab haqiqi yang
diklaim oleh penyusunnya memiliki tingkat akurasi yang sangat tinggi
sehingga mencapai derajat pasti. Derajat pasti ini sudah dibuktikan
secara ilmiah dengan menggunakan kaidah-kaidah ilmiah juga. Dan
perhitungannya telah menggunakan system komputerisasi sehingga bilangan
angka tidak ada yang terpotong. Contoh hisab haqiqi tahqiqi adalah Alfalaqiyah Nurul Anwar.
e. Hisab Kontemporer/Modern
System hisab ini menggunakan alat Bantu komputer yang canggih dengan
rumus-rumus algoritma. Sebenarnya, system hisab ini dilakukan oleh
program komputer yang telah menjadi softwere dengan tingkat ketelitian
yang lebih tinggi (hight quality accuration). Contoh softwerenya adalah: Jean Meeus, New Comb, Astronomical Almanac, Mawaqit Ascrip dan lain sebagainya.
Cara Menggunakan Metode Hisab Dan Hal Yang Harus Dipersiapkan
Cara menggunakan hisab dalam menentukan awal bulan hijriyah secara
umum ada yang menggunakan cara manual atau dengan cara klasik dan dengan
cara modern dengan system komputer yang canggih.
Penggunaan hisab urfi dan hisab taqribi secara umum digunakan secara
manual atau klasik yaitu hanya memasukan data-data yang sudah tertulis
dalam kitab ilmu falak hasil ulama masa lampau. Sedangkan cara yang
digunakan dalam hisab haqiqi tahqiqi ataupun modern adalah dengan
menggunakan system operasi komputer yang sebagian telah menjadi softwere yang secara otomatis kita hanya memasukan angka untuk mencari dan mengetahui kapan awal bulan hijriyah terjadi.
Hal-hal yang harus dipersiapkan dalam metode hisab ini adalah
persiapan mental serta itelektual yang tinggi di bidang ilmu falaq,
kitab-kitab falaq yang terdapat data-data astronomi, peralatan tulis
menulis, alat Bantu hitung seperti kalkulator atau laptop dan
mempersiapkan unit komputer yang didalamnya terdapat softwere untuk
menentukan awal bulan hijriyah yang sudah di install.
Kelebihan Dan Kelemahan Metode Hisab
Kelebihan dari menggunakan metode hisab dalam menentukan awal bulan
hijriyah adalah keefektifan waktu yang terpakai dan ketepatan hasil
hisab karena telah didukung dengan data-data astronomis dan
kaidah-kaidah ilmiyah. Apalagi jika ahli hisab memakai metode hisab
modern atau kontemporer. Sehingga para ahli hisab tidak perlu
repot-repot untuk mempersiapkan alat-alat yang digunakan oleh rukyatul
hilal.
Sedangkan kelemahannya terletak saat menggunakan alat hitung yang
tidak sempurna sehingga hasilnya dapat berbeda dengan ahli hisab yang
lainnya. Selain itu banyaknya macam dalam metode hisab mengakibatkan
berbada juga hasilnya, antara lain hisab urfi dengan hasil hisab modern
atau kontemporer.
Pengertian Metode Rukyatul Hilal
Rukyat berasal dari bahasa arab “Ra’a-Yara-Rukyat” yang artinya melihat sedangkan hilal berarti bulan sabit (cresent) yang pertama terlihat setelah terjadinya ijtimak di awal bulan hijriyah. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqoroh ayat 189
Artinya: mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah:
“Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat)
haji; (Depag, 2005 : 29)
Selain dapat dijadikan tanda bagi manusia dalam ibadah haji, hilal
juga dapat dijadikan pertanda mulainya ibadah shaum Ramadhan dan Berhari
Raya yang telah dipakai sejak zaman nabi Muhammad SAW. Rasulullah SAW
bersabda : “Berpuasalah engkau karena melihat hilal dan berbukalah
engkau Karena melihat hilal. Bila hilal tertutup atas kalian, maka
sempurnakanlah menjadi 30 hari (H.R. Bukhari-Muslim)
Maka yang disebut rukyatul hilal adalah kegiatan yang dilakukan oleh
seseorang atau sekelompok orang yang melakukan pengamatan secara visual
baik menggunakan mata langsung ataupun dengan bantuan alat terhadap
kemunculan hilal (Rukyatulhilal [TN], 2005:1)
Menurut Susiknan Azhari, (2008:183) “Rukyatul hilal adalah melihat
atau mengamati hilal pada saat matahari terbanam menjelang awal bulan
komariah dengan mata atau teleskop. Dalam astronomi dikenal dengan
observasi”.
Dalam wikipedia, metode rukyat didefinisikan sebagai “Upaya
melihat hilal dengan mata telanjang atau dengan peralatan modern pada
saat matahari terbenam setelah ijtimak (tanggal 29 bulan qomariah) di
ufuk barat”.
Dari definisi diatas, maka perlu kita pahami apa yang dimaksud dengan matahari terbanam dan apa arti dari ijtimak.
Matahari disebut terbenam, apabila ujung piringan atas matahari telah
meninggalkan ufuk barat. Sedangkan ijtimak adalah posisi dimana sudut
elongasi (jaraknya) bulan terhadap matahari adalah nol derajat. Atau
posisi bulan, bumi dan matahari segaris dan apabila di lihat dari bumi,
tinggi matahari dan bulan sejajar terhadap ufuk.
Cara Melakukan Rukyatul Hilal Dalam Menentukan Awal Bulan Hijriyyah dan Hal yang Harus Dipersiapkan
Idealnya, rukyatul hilal atau melihat hilal dilakukan dengan mata telanjang (naked eye)
sesuai dengan apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para
Sahabatnya. Asal kita tahu tekhnik dan ilmunya, maka rukyat dengan mata
telanjang menjadi lebih efektif dibandingkan dengan menggunakan
peralatan Bantu optik. Sebab yang paling penting adalah kualitas sumber
daya manusianya bukan pada alatnya.
Dalam melakukan metode rukyat untuk melihat hilal, yang paling utama
adalah menetapkan medan rukyat yang memenuhi syarat. Yaitu bebas
hambatan dan terletak dilokasi yang mengarah ke ufuk mar’i di arah
barat. Salah satu medan terbaik adalah lokasi yang menghadap ke laut.
Setelah menentukan lokasi, para ahli rukyat membuat rincian tentang arah
dan kedudukan matahari serta hilal sesuai dengan hisab bulan disertai
peta proyeksi. Setelah itu, mereka harus menentukan letak proyeksi dan
memasang alat Bantu guna melokalisasi (menyatu tempatkan) jalur
tenggelamnya matahari sesuai dengan peta proyeksi rukyat yang sudah
ditentukan. Hal yang paling penting dalam persiapan rukyat adalah
menyiapkan logistik untuk mendukung penyelenggaraan rukyat dan juga
menghubungi atau mengajak badan pengadilan agama setempat untuk
bersama-sama melakukan rukyat.
Yang harus diperhatikan dalam merukyat adalah seorang perukyat yang
memenuhi syarat adil dan berpengalaman, adil disini ialah mampu
membedakan antara hilal dengan cahaya lain yang terpantul oleh alat
optik. Dan juga perukyat harus melakukan observasi dengan penuh
konsentrasi beberapa menit sebelum matahari menyentuh ufuk selama waktu
rukyat yang diperhitungkan.
Setelah pelaksanaan rukyat selesai, maka perukyat atau badan rukyat
harus merumuskan hasil observasi secara lengkap dan ilmiah sesuai
keadaan astronomi, memberitahukan dan melaporkan hasil rukyat kepada
pihak terkait serta melaporkannya secara resmi kepada pengadilan agama
setempat.
Kelebihan Dan Kelemahan Metode Rukyat
Kelebihan dalam menggunakan metode rukyat ketika menentukan awal
bulan hijriyah adalah kita telah mengikuti apa yang Rasulullah SAW
perintahkan. Selain itu, menggunakan metode rukyat ini akan memberikan
keyakinan atas apa yang perukyat lihat berupa pergantian bulan secara
langsung.
Adapun salah satu kekurangan dalam menentukan awal bulan hijriyah
dengan metode rukyat adalah hasil rukyat tidak dapat digunakan untuk
menyusun almanak atau kalender tahunan. Begitu pula hasil rukyat sering
diragukan karena dipengaruhi unsur subjektif yaitu adanya perbedaan
paham antara suatu ormas dengan ormas lain dan metode rukyat juga
tergantung dengan kondisi alam.
Saat ini rukyat umumnya dilakukan dengan menggunakan hisab terlebih
dahulu, terutama untuk menetukan waktu, lokasi dan arah rukyat, rukyat
juga dijadikan alat untuk membuktikan hasil hisab. Selain itu,
kekurangan rukyat terletak pada mathla yang berlaku di daerah itu saja
ataupun berlaku di daerah luar.
Macam Macam Kriteria Hilal Saat Melakukan Rukyat
Di Indonesia, para ahli hisab rukyat pada umumnya menggunakan tiga
kriteria dalam menentukan keberadaan hilal untuk menentukan awal bulan
hijriyah. Yaitu :
1. Kriteria Imkanurrukyat
Imkanurukyat adalah salah satu kriteria penentuan awal bulan qomariah
yang artinya “kebolehnampakan” dan menurut metode rukyat, imkanurukyat
yaitu batas minimal terlihatnya hilal pada akhir bulan hijriyah ketika
merukyat. Jadi imkanurukyat adalah kondisi dimana berdasarkan hisab
rukyatulhilal sudah memungkinkan untuk di lihat.
Syarat-syarat penentuan awal bulan dengan imkanurukyat adalah sebagai berikut.
- Ijtimak atau konjungsi (conjunction) terjadi sebelum matahari terbenam
- Umur hilal (bulan baru) pada saat matahari terbanam telah lebih dari 8 jam sejak ijtimak.
- Ketinggian bulan di atas ufuk, saat matahari terbnam pada tanggal
29 bulan qomariah tidak kurang dari 2 derajat dan jarak lengkung
(bulan-matahari) tidak kurang dari 3 derajat
2. Kriteria Wujudul Hilal
Wujudul hilal adalah kenampakan hilal berapapun derajatnya di atas
ufuk barat. Di Indonesia, ini adalah criteria yang digunakan oleh
Muhammadiyah dalam menentuakn awal bulan hijriyah, termasuk dalam
menentukan awal Ramadhan, 1 Syawal dan 1 Dzulhijjah.
Adapun syarat-syarat dalam menentukan awal bulan hijriyah dengan kriteria wujudul hilal adalah sebagai berikut :
- Ijtimak atau konjungsi (conjunction) terjadi sebelum matahari terbenam
- Posisi hilal (bulan baru) pada saat matahari terbenam sudah di
atas ufuk, berapapun tingginya, asal lebih besar dari pada NOL derajat.
3. Imkanurrukyat MABIMS
Imkanurrukyat MABIMS adalah Kriteria penentuan awal bulan hijriyah
yang ditetapkan berdasarkan musyawarah mentri-mentri agama Brunei
Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura (MABIMS) yang dipakai
secara resmi untuk penentuan awal builan hijriyah pada kalender resmi
pemerintah dengan berprinsip awal bulan kalender hijriyah terjadi jika :
- Pada saat matahari terbenam, ketinggian bulan di atas ufuk minimun 2 derajat
- Sudut elongasi (jarak lengkung) bulan matahari minimum 3 derajat
- Pada saat bulan terbenam, usia bulan minimum 8 jam dihitung sejak ijtimak.
SEBAB, AKIBAT DAN SOLUSI DALAM PERBEDAAN AWAL BULAN HIJRIYAH
Penyebab Terjadinya Perbedaan Dalam Menentukan Awal Bulan Hijriyah
Dalam menentukan awal bulan hijriyah, umat Islam khususnya ahli hisab
rukyat sering mengalami perbadaan. Tentu hal ini terjadi akibat
berbedanya persepsi mengenai criteria hilal antara hisab dengan rukyat.
Sebab peresepsi yang berbeda mengenai hilal akan menyalahi hasil
perhitungan yang lain. Sebagai contoh, persis yang menggunakan Kriteria
imkanurrukyat akan berbeda dengan ormas yang menggunakan wujudul hilal.
Selain berbedanya persepsi mengenai hilal, perbedaan ini terjadi
karena adanya kepentingan masing-masing agar dapat membedakan antara
suatu ormas dengan ormas yang lain.
Akibat Dari Berbedanya Awal Bulan Hijriyah
Perbedaan pendapat tentang hisab rukyat serta implikasinya telah
menyita banyak energi umat Islam. Sehingga persoalan ijtihad ini sangat
berpotensi merusak ukhwah islamiyah. Meskipun dari ijtihadiyah tersebut,
apabila tepat perhitungannya akan mendapatkan dua pahala tetapi bila
keliru dan kurang tepat akan mendapatkan satu pahala saja. Sedangkan
kita mengetahui, bahwa tidak ada kebenaran mutlak atas pendapat
ijtihadiyah yang sifatnya terkadang temporal (dalm jangka waktu
tertentu) bisa juga bersifat situasional (dalam kondisi tertentu).
Akan tetapi bagi kalangan pedagang, perbedaan hari dalam melaksanakan
shaum, haji khususnya berhari raya dijadikan keuntungan bagi tambahan
barang dagangannya. Sebab mereka mendapatkan dua atau tiga hari barhari
raya.
Solusi Perbedaan Awal Bulan Hijriyah
Salah satu usaha untuk menyelesaikan permasalahan mengenai hasil
hisab dan rukyat yang terjadi saat ini tiada lain adanya peran
pemerintahan yang dapat menyatukan ummat. Serta harus adanya keseragaman
mengenai definisi hilal yang kerap menjadi faktor pembedanya. Hilal
harus di definisikan mulai dari metode sederhana dengan merukyat tanpa
alat Bantu sampai dengan menggunakan alat canggih hasil tekhnologi
terbaru, hilal juga harus terdefinisikan dalam kriteria hisab secara
klasik maupun secara modern.
Adapun pengertian hilal menurut kesepakatan badan hisab-rukyat
Indonesia yang penulis kutip dari artikel T. Djamaludin (2005) yaitu :
“Bulan sabit pertama yang teramati di ufuk barat sesaat setelah
matahari terbanam, tampak sebagai goresan garis cahaya yang tipis dan
bila menggunakan teleskop dengan pemroses citra bias tampak sebagai
garis cahaya tipis ditepi bulatan bulan yang mengarah ke matahari”.
Kesimpulan
Setelah selesai menyusun karya tulis ini, maka penulis mengambil beberapa kesimpulan. Diantaranya sebagai berikut:
Perbedaan antara metode hisab dengan metode rukyat dapat dilihat dari segi prosesnya.
Dalam menentukan awal bulan hijriyyah, metode rukyat dilakukan pada
tanggal 28 sampai 29 atau 30 setiap bulan hijriyah. Sedangkan metode
hisab dihitung pada setiap saat dan hasilnya dapat memprediksikan 10
tahun mendatang atau lebih.
Perselisihan awal bulan hijriyyah penyebabnya tiada lain diakibatkan
oleh berbedanya pola pandang atau pemahaman mengenai karekteristik hilal
yang memberikan informasi sebagai awal bulan hijriyyah.
Selain dapat menimbulkan perpecahan diantara ormas Islam,
perselisihan mengenai awal bulan telah menguras habis energi umat Islam
yang seharusnya umat Islam menegakan dan menjalankan ajaran Islam yang
hakiki. Salah satu solusi untuk menyeragamkan awal bulan hijriyah
diantara ormas Islam adalah dengan cara menyamakan persepsi mengenai
deskripsi dan krekteristik hilal.
Saran-Saran
Setelah menyusun karya tulis ini, maka penulis berharap agar adanya
kebijakan yang mutlak dari pemerintahan dalam hal menyeragamkan hari dan
tanggal ketika melaksanakan ibadah shaum, haji dan berhari raya.
Saran dari penulis bagi umat Islam adalah:
Harus adanya keseriusan dalam mempelajari ilmu tentang Astronomi Islam dalam hal penentuan awal bulan hijriyah.
Harus adanya pola pandang yang sama terhadap persepsi mengenai hilal bagi para ormas islam di Indonesia.
Lebih baik menjaga ukhwah di antara kaum muslimin dari pada berpecah
belah dan saling tertutup tanpa adanya tenggang rasa dalam menentukan
awal bulan hijriyah.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI. 2005. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: PT Syaamil Cipta Media.
Al-Hadist Bulughul Marom
Azhari, Susiknan. 2008. Ensiklopedi Hisab Rukyat. Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Azhari, Susiknan. 2007. Ilmu Falaq. Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Ruskanda, Farid.1995. Rukyat Dengan Tekhnologi. Jakarta: Gema insani press.
Idrus, Akhlaf. 1988. Ijtihad Menjawab Tantangan Jaman. Solo: Ramadhani.
Santoso, Ikbal. 2004. System Penentuan Awal Bulan Hijriyah. Artikel
wikipedia, hisab & rukyat. (http//: wikipedia.org/hisab dan rukyat.html). 2008
fami fachrudin @ isnet. Hisab dan rukyat. 2008
rukyatul hilal.org, hisab dan rukyat. (http//: rukyatulhilal.org/hisab-rukyat.html). 2008
nasyarudin syarif, hisab dan rukyat. Majalah risalah edisi syawal 1423
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking