I
Ini cerita seorang mubalig yang menjadi guru di sebuah sekolah. Suatu hari, di sekolah tempat ia mengajar, puluhan murid sakit secara tiba-tiba. Ada yang menangis, mengomel, kejang-kejang, bahkan pingsan. Suasana gaduh. Pelajaran diliburkan, murid-murid dipulangkan.
Seluruh murid yang terserang penyakit ‘aneh’ itu dievakuasi ke ruang UKS. Alih-alih memanggil dokter, beberapa guru malah memanggil orang pintar. Guru lain bilang, “Kita harus bikin bubur sengkolo, sebagai penangkal, agar musibah ini segera pergi.”
Sang mubalig berontak. Tetapi tidak kuasa melawan arus utama. Dan suasana itu ditangkap salah seorang murid yang ‘cerdas’. Hari berikutnya, menjelang ulangan harian, murid itu berulah. Ia keluar kelas dan menyelinap ke ruang kosong di sebelah kelasnya.
Ia lantas bersuara yang dimiripkan tangis perempuan. Sesekali dilengkingkan, sehingga terdengar oleh murid-murid di kelasnya. Juga ibu guru yang menjaga ulangan. Karena suara berlangsung lama, kelas mulai ribut. Puncaknya, ibu guru ketakutan. Ia batalkan ulangan dan menghambur ke ruang kepala sekolah.
Kepala sekolah dan beberapa guru mendatangi ruang itu. Ikut pula beberapa murid. Sayang, mereka tidak masuk, tetapi hanya menguping dari luar ruang. Benar, di ruang kosong itu memang ada suara tangis. Menyayat-nyayat. Herannya, semua yang hadir seolah sepakat bahwa itu suara setan.
Tangis misterius pun menjadi buah bibir. Kepercayaan aneh-aneh mulai muncul. Konon, itu suara hantu penunggu sekolah. Yang lain bilang, itu tangis murid perempuan yang meninggal karena jatuh di ruang itu beberapa tahun lalu.
Sang mubalig semakin gelisah. Ia berniat mengusut tuntas peristiwa itu hingga tidak terjadi salah paham pada warga sekolah. “Tidak ada yang bisa mendengar suara setan kecuali setan,” katanya dalam sebuah perbincangan, yang langsung dibantah guru lain. “Lho, kalau begitu kita semua ini setan?” Ia lantas menjelaskan, “Bukan begitu. Maksudnya, kalau kita mendengar, berarti itu suara manusia, bukan suara setan,” tuturnya sopan.
Memang tidak mudah memberangus kepercayaan mistis yang sudah berlangsung lama. Karena itu, sang mubalig tidak mau gegabah. Ia hanya terus menegaskan kepada murid-muridnya bahwa tidak ada yang mendengar suara setan kecuali setan.
Pernyataan itu diulang-ulangnya dalam setiap kesempatan, hingga ada murid yang tidak tahan. “Kita bukan setan, Ustad. Memang itu semua adalah ulahnya,” protes murid berpostur jangkung itu sambil menunjuk teman sebangkunya. Sontak seisi kelas menoleh kepada ‘terdakwa’ yang memang dikenal tukang usil itu.
Dibawalah murid jail itu ke ruang kepala sekolah. “Kenapa kamu menjadi setan. Apa kamu pikir neraka itu sepi penghuni sehingga kamu ikut-ikutan menjadi setan,” cecar kepala sekolah. Yang ditanya terdiam, lalu menangis. “Maafkan saya, Ustad. Saya hanya iseng supaya ulangan ditunda, karena saya belum siap.”
Misteri kini menjadi gamblang. Tanpa paranormal, juga bubur sengkolo sebagai ruwatan. Itulah kekuatan bahasa dalam dakwah. Bayangkan kalau saat itu sang mubalig seketika mencela segala kepercayaan berbau mistis yang sudah lama mengada itu. Bukannya mengatasi masalah, justru akan memperkeruh suasana.
Sekolah memang tidak sepantasnya memupuk segala praktik atau kepercayaan yang menyalahi ‘tata krama’ rasio dan agama. Ngeri kita melihat ada sekolah yang mengizinkan murid-muridnya merajah pensil, penghapus, dan air minum demi tujuan lulus UN. Apalagi sampai mengundang paranormal untuk mengatasi murid stres akibat dililit masalah. Ada istilah bubur sengkolo segala.
Tetapi, memberantasnya butuh bahasa yang tidak membuat merah telinga. Inilah model dakwah yang diajarkan Islam, “Ajaklah manusia ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik. Dan debatlah mereka dengan cara yang paling baik. Sungguh Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS An-Nahl: 125)
Rasulullah sendiri tidak pernah berdakwah dengan cara mencela, apalagi menghina. Inilah kunci sukses dakwah Rasulullah, yang diabadikan dalam Alqur’an “Sekiranya kamu bersikap keras dan kasar, tentu mereka menjauh dari sekelilingmu” (QS Ali Imran: 159).
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking