Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dan seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kalian saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara
kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”(QS Al Hujuraat
(49): 13).
Perbedaan jenis kelamin, suku, etnis, warna kulit, bahasa, adat,
budaya dan bangsa adalah bagian dari sunnatullah dalam penciptaan manusia.
Allah swt tidak menghendaki perbedaan ini membuat umat manusia saling berpecah
belah, bertikai, dan bermusuhan. Melainkan, Ia Allah swt menginginkan perbedaan
itu membuat manusia saling kenal mengenal, dan tolong menolong untuk memakmurkan
bumi. Berbeda tidak harus lantas berpecah, namun berbeda untuk menuju sinergi,
harmonisasi dan kesempurnaan.
Tak bedanya seperti bangunan yang kesempurnaannya terbentuk dan
bahan bangunan yang beragam. Ada pasir, semen, air, batu bata, kayu, paku dan
lain-lain.Karenanya ayat di atas diawali dengan lafazh “Ya Ayyuhan-Naas” (Hai
manusia) untuk mengingatkan manusia bahwa mereka itu sama asal usulnya. Dan satu
keturunan, yaitu dan nabi Adam dan siti Hawa -‘alaihimassalam- sehingga satu
sama lain tidak boleh saling membanggakan dan saling menghinakan dan
menjelekkan.
Asbabun nuzul (sebab turunnya) ayat
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dan lbnu Abi Mulaikah, ía bercerita:
Ketika Yaumu’l Fath (hari pembebasan kota Mekah), Bilal naik ke atas Ka’bah,
lalu mengumandangkan adzan. Sebagian orang sinis sambil berkomentar: Apakah
layak budak hitam ini mengumandangkan adzan di atas Ka’bah? Sebagian lagi
mengatakan: Jika Allah memurkainya, pasti Allah swt akan mengubahnya, atau jika
Allah menghendaki sesuatu maka pasti Ia akan merubahnya. Lalu Allah menurunkan
ayat di atas, maka Nabi saw melarang mereka untuk membangga-banggakan nasab
(keturunan), kekayaan dan menghina orang-orang fakir (At TafsirAl Munir, DR
Wahbah Az Zuhaili XVI/250).
Yang paling bertakwa
Begitu banyak definisi manusia terbaik dan termulia dalam
perspektif masyarakat. Sebagian melihat, bahwa orang yang paling kaya lah yang
terbaik. Sebagian lagi melihat tampilan fisik; kegantengan dan kecantikan
menjadi ukuran kebaikan seseorang. Yang lain membanggakan dirinya karena berasal
dan keturunan tertentu, sehingga menganggap dialah manusia paling mulia. Ada
pula yang menganggap din dan komunitasnya yang terbaik karena memiliki
kewarganegaraan atau kebangsaan tertentu. Dan masih banyak lagi atribut, simbol
dan hal lain yang sering membuat manusia terpukau dan tertipu sehingga
mengganggap dirinya the best, super atau terbaik,
Semua itu dalam neraca dan pandangan Allah swt sama sekali tidak
berarti dan tidak diperhitungkan. Yang bernilai dan memiliki bobot di mata Allah
hanyalah takwa. Takwa inilah neraca yang dipaka untuk mengukur kebaikan dan
keunggulan manusia. Ayat di atas telah menegaskan hal ini. Allah swt berfirman,
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang
yang paling bertakwa di antara kalian. Jadi, manusia yang paling mulia dan the
best serta paling tinggi derajatnya di sisi Allah di dunia dan akhirat adalah Al
Atqaa, yang paling bertakwa, yang paling shaleh dan bermanfaat untuk din dan
masyarakatnya. Kalau harus ada yang bisa dibanggakan dan dikejar, maka ia adalah
takwa yang bermakna komitmen terhadap apa yang diperintahkan oleh Allah dan
meninggalkan apa yang dilarang-Nya.
Dalam kajian Sayyid Qutb rahimahullah, bahwa hendaknya semua orang
berlomba untuk berada di bawah bendera takwa dalam naungan Allah. Bendera takwa
inilah yang diangkat dan dikibarkan oleh Islam untuk menyelamatkan manusia dan
fanatisme terhadap jenis kelamin, bangsa, kabilah/ suku dan keluarga/keturunan.
Semua itu bersumber dan jahiliyah dan akan kembali kepada jahiliyah jika tetap
menjadi standar. Hal-hal jahiliyah ini terkadang dihias dengan beraneka macam
pakaian, dikemas dengan beragam kemasan dan diberi nama/label dengan
bermacam-macam nama. Yang jelas, semua itu jahiliyah, sama sekali bukan dan
Islam! (Fl ZhilaI Al Qur’an Vl/3348).
Dan Abu Hurairah ra, ia berkata: Rasulullah saw pernah ditanya,
“Siapa manusia yang paling mulia?” Beliau saw menjawab, “Manusia yang paling
mulia/terbaik di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara mereka”.
Mereka berkata: Kami tidak bertanya tentang itu. Beliau bersabda, “Man usia yang
paling mulia adalah Yusuf, karena ia Nabiyullah (nabi Allah), anak dan
Nabiyullah (yaitu nabi Ya’qub), anak dan Khalilullah (kekasih Allah, yaitu nabi
lbrahim)”. Mereka berkata: Bukan ini yang kami tanyakan. Lalu beliau balik
bertanya, “Apa kalian bertanya kepadaku tentang barang tambang orang-orang
Arab?” mereka menjawab: Ya. Nabi saw bersabda, “Yang terbaik di antara
kalian pada masa Jahiliyah adalah yang terbaik dalam Islam, jika mereka faqih
(paham dalam urusan agama)” (HR Bukhari, hadits no. 4689)
Karena itu, jangan sampai Anda mudah terpukau dengan ketampanan,
kecantikan, kekayaan, kekuasaan, kepangkatan dan gelar seseorang. Sebagaimana
jangan mudah minder jika Allah belum atau tidak menganugerahkan kepada kita
atribut dan pernak-pernik dunia itu. Sebab, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya
Allah tidak melihat kepada bentuk (fisik) kalian dan harta (kekayaan) kalian.
Melainkan Ia swt melihat kepada hati dan amal perbuatan kalian” (HR Muslim,
hadits no. 2564).
Yang paling baik terhadap keluarganya
Salah satu ciri orang yang bertakwa adalah berbuat baik terhadap
keluarganya dan tidak pernah menzhalimi mereka. Jika ia seorang suami, tentu ia
menjadi suami yang shaleh, yang selalu menunaikan kewajiban-kewajiban Allah,
keluarga dan semua orang yang ada dalam tanggungannya dengan ikhlas, penuh
semangat dan lapang dada. Ia tak menuntut hak lebih banyak dan yang semestinya.
Bahkan, Ia toleran dengan kekurangan yang ada. Ia pantang menyepelekan dan
menyia-nyiakan kewajiban-kewajibannya sebagai kepala rumah tangga, bahkan a
tunaikan dengan sebaik-baiknya sebelum menuntut haknya. Ia akan selalu berusaha
membahagiakan istrinya.
Jika ia seorang istri, maka ia akan menjadi istri yang shalehah,
yang ta’at kepada Rabbnya, memperlakukan suami dengan baik, tidak menyianyiakan
kewajiban dan tidak menuntut hak lebih banyak dan yang seharusnya serta selalu
membahagiakan suaminya. Ia berusaha menjadi Khairu Mataa’id Dun’yaa (sebaik-baik
perhiasan dunia), yang ciri-cirinya menurut Nabi saw, “Jika suami memandangnya
menyenangkan, jika ia memerintahnya ta’at dan jika ia tiada (absen darinya)
mampu menjaga (kehormatan dan hartanya)” (HR Abu Dawud).
Karena itulah, dalam perspektif Nabi saw manusia terbaik di jagad
raya adalah manusia yang paling baik terhadap keluarganya. Nabi saw bersabda,
“Khairukun khairukum li ahlihi, wa ana khairukum Ii ahli (Yang terbaik di antana
kalian adalah yang terbaik terhadap keluarga/istrinya. Dan saya adalah orang
yang paling baik terhadap istri/keluangaku)” (HR Tirmidzi).
Dalam hadits lain, Rasulullah SAW juga menegaskan, “Orang mukmin
yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlak/ budi pekertinya.
Dan yang terbaik di antara kalian adalah yang terbaik terhadap istrinya” (HR Abu
Dawud dan Tirmidzi).
Hal ini menunjukkan bahwa kesuksesan yang hakiki, bukanlah hanya
ketika seseorang mampu meraih puncak karir, popularitas, gelar tinggi dan
keuntungan duniawi. Namun, kesuksesan yang hakiki adalah manakala kita mampu
meraih simpati dan anak dan istri atau suami kanena pancaran sinar takwa yang
membumi. Kesuksesan yang sejati adalah ketika kita berhasil mengkondisikan dan
membina keluarga kita menjadi insan-insan Taqiy (yang bertakwa), bahkan menjadi
pemimpin Muttaqin (orang-orang yang bertakwa).
“Ya Rabbana (Tuhan kami). Anugerahkanlah kepada kami, Para istri
kami dan keturunan kami sebagai Qurrata Ayun (penyejuk hati kami), dan
jadikanlah kami imam/pemimpin orang-orang yang
bertakwa”
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking