Maandag 27 Mei 2013

ALLAH AL MUIZ, YANG MAHA MULIA

Dalam Al-Qur’an, kata Mu’iz, yang merujuk langsung pada sifat Allah, tidak ditemukan. Tetapi, kata kerja yang menunjukkan kegiatan Allah dalam penganugerahan kemuliaan kepada hamba-Nya, bisa dijumpai dalam beberapa ayat. Salah satu di antaranya adalah: “Engkau memberi kemuliaan kepada siapa yang Engkau kehendaki.” (Ali Imraan: 26)

Siapakah yang dikehendaki Allah untuk dimuliakannya? Al-Qur’an membocorkan rahasia itu kepada kita, sebagaimana firman-Nya: “Kemuliaan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mu’min, tetapi orang-orang munafiq itu tiada mengetahui.” (Al-Munafiqun: 8)
Kemuliaan menurut ayat di atas hanya pantas disandangkan kepada mereka yang mempunyai kedekatan hubungan dengan Allah. Orang yang menjaga jarak dengan Allah, menjauh dari ajaran-Nya, dan melalaikan-Nya, maka Dia akan mencabut kemuliaannya.

Al-Qur’an mengingatkan tentang beberapa hal yang bisa melalaikan manusia dari mengingat Allah, di antaranya adalah harta kekayaan. Karunia Allah yang awalnya diberikan sebagai fasilitas hidup, tapi oleh manusia justru dijadikan sebagai tujuan hidup. Bahkan, sebagian besar manusia memandangnya sebagai kemuliaan. Tak heran jika ada yang mengira bahwa kemuliaan manusia itu terletak pada seberapa banyak harta yang dikumpulkan. Dalam keadaan seperti itu, manusia berubah dari Hamba Allah menjadi budak harta atau budak dunia. Mereka mengira bahwa harta, jabatan, popularitas, dan kemegahan duniawi lainnya bakal dapat mengekalkan dan menjadikannya abadi di dunia ini.
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu sampai kamu masuk ke dalam kubur”. (At-Takatsur: 1-2)
“Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya, sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah”. (Al-Humazah: 3 dan 4).
Pesan penting yang harus dicamkan baik-baik di sini, adalah bahwa kemuliaan itu bukan berada di luar, bukan faktor eksternal. Kemuliaan itu sesungguhnya ada pada diri kita sendiri, ketika kita mampu menggali nilai-nilai ilahiyah dalam diri. Inilah yang akan melahirkan percaya diri (self-confidence), menumbuhkan harga diri, dan selanjutnya mendorong kemandirian. Di sinilah sesungguhnya letak kemuliaan itu.
“Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu”. (Al-Israa: 14)
Allah telah memuliakan kita karena kedekatan hubungan kita kepada-Nya. Satu lagi tugas kekhalifahan yang harus kita jalani, yaitu memuliakan orang lain. Jika kita ingin dimuliakan, maka muliakanlah orang lain. Jika kita ingin dihormati, maka hormatilah orang lain. Jangan sekali-kali memandang rendah orang lain, karena setiap manusia mempunyai kedudukan yang sama dan sederajat. Yang membedakannya adalah iman dan taqwanya. Dengan semangat memuliakan, akan tercipta kedamaian dan ketentraman batin. 


Hamim Thohari
* Tulisan ini telah dimuat di Majalah Nebula (ESQ Magazine) No. 23/Tahun II/2006

Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking