Maandag 27 Mei 2013

ALLAH ARRAZAQ, MAHA PEMEBERI RIZKI, RIZKI-MU TAK HABIS DIBAGI

Aku tidak menghendaki sedikitpun rizki dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rizki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh. (QS. Adz-Dzariyaat: 57-58)


Kata Ar-Razzaq hanya bisa kita temukan dalam al-Qur’an sekali saja, sebagaimana yang disebut di awal tulisan ini. Te­tapi yang menggunakan akar kata yang sama, ra-za-qa dapat kita jumpai di ba­nyak surat dan ayat al-Qur’an.Pada awalnya rezeki itu bermakna tunggal, yaitu pemberian untuk jangka waktu tertentu. Makna ini sekaligus mem­bedakan antara rezeki dengan hibah, atau antara makna Ar-Razzaq dengan Al-Wahhab. Dalam perkembangannya makna rezeki itu meluas dan melebar, kadang bermakna pangan, pemenuhan kebutuhan, gaji, juga hujan yang turun dari langit, bahkan anugerah kenabian pun disebut sebagai rezeki, sebagaimana perkataan Nabi Syuaib kepada kaumnya:
“Wahai kaumku, bagaimana penda­patmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan Dia menganugerahi aku dari-Nya rizki yang baik (yakni kenabian)?” (QS. Huud: 88)

Dengan demikian, maka rizki itu bisa meliputi segala pemberian yang dapat dimanfaatkan, baik bersifat material maupun spiritual. Rizki itu tidak hanya bersifat kebendaan, tapi juga bisa berupa kebahagiaan, sembuh dari sakit, kesempatan beribadah dengan baik, hidayah, dan banyak lagi lainnya. Sungguh tak terhingga rizki yang telah diberikan kepada kita.Setiap makhluk hidup telah dijamin rizkinya oleh Allah, apalagi manusia. Tak seorangpun dibiarkan hidup tanpa jaminan rizki, sebagaimana firman-Nya:
“Dan tidak satu binatang melata yang bergerak di muka bumi, kecuali Allah telah menjamin rizkinya.” (QS. Huud: 6)
Karenanya, tidak ada alasan bagi manusia untuk mencari rizki yang haram, sebab rizki yang halal sudah disedikan buat mereka. Hanya saja mereka kurang bersabar atau mereka kurang puas (tidak qanaah). Andai saja mereka sedikit ber­sabar atau memiliki sifat qana’ah, tentulah mereka akan mendapatkan rizki yang baik dan halal.Tentu saja rizki itu tidak datang be­gitu saja, melainkan harus diusahakan dengan sungguh-sungguh sesuai dengan “sunnatullah”. Bukankah semua manu­sia terikat oleh hukum-hukum yang meng­atur makhluk dan kehidupannya? Sesungguhnya rasa lapar dan hausnya, hingga insting untuk mempertahankan dirinya merupakan jaminan rizki dari Allah. Tanpa rasa lapar, tanpa insting mempertahankan diri, manusia tak terdorong untuk mencari makan (bekerja).

Bersamaan dengan itu, Allah SWT menghamparkan bumi yang di dalam dan di atasnya terdapat rizki yang berlimpah ruah. Segala yang dibutuhkan manusia terdapat di sini, berapapun besarnya jumlah penduduk bumi. Kalaulah teori Malthus itu benar, tentu sekarang ini terjadi kelangkaan bahan pangan dan sebagian besar manusia tidak bisa memenuhi kebutuhan pangannya. Ternyata, sebagian besar manusia hidup lebih makmur.

Jarak antara manusia dengan rizkinya lebih jauh dibandingkan dengan binatang, apalagi tumbuh-tumbuhan. Allah menyiapkan rizki pada tetumbuh­an di tempat tumbuhnya, sedang bagi binatang disediakan dalam jumlah yang banyak, hanya saja harus ada usaha untuk mendapatkannya. Bedanya dengan manusia, jika binatang cukup dengan mengandalkan instingnya, sedang manusia harus berusaha dengan menggunakan akal, ilmu, dan sedikit teknologi. Allah telah menyiapkan sarana yang cukup, sedang manusia diperintahkan untuk mengolahnya. Pengelolaan itulah yang menjadi nilai tambah. Itulah rizki, sebab Allah mendatangkan rizki-Nya me­la­lui keterlibatan tangan-tangan makhluk-Nya. Itulah sebabnya, Al-Qur’an memilih kata “Nahnu” atau “Kami” ketika berbicara tentang pemberian rizki, seba­gaimana firman-Nya:
“Kami memberi rizki kepadamu dan kepada mereka anak keturunanmu.” (QS. Al-An’Am: 151)


Jaminan rizki itu juga diberikan ke­pada “Daabat” yang berarti makhluk melata yang bergerak. Kata bergerak itu menjadi sangat penting, sebab jangan berharap mendapatkan rizki dari-Nya sementara kita tinggal diam, menunggu, pasif, malas bekerja, atau bekerja tanpa ilmu, tanpa akal, dan tanpa tehnologi. Untuk mendapatkan zamzam, Siti Hajar harus lari-lari dari bukit Shafa dan Marwa. Itulah pelajaran sya’i yang kita dapatkan dari ibadah haji. Bagaimana cara meneladani sifat Allah Ar-Razzaq? Sangat mudah, kita hanya dituntut untuk membagikan (sharing) dari sebagian rizki yang telah dianugerahkan oleh-Nya untuk para fakir miskin dan orang-orang yang lebih membutuhkan.
“Dan nafkahkanlah sebagian dari apa yang Kami rizkikan kepadamu.” (QS. Al-Baqarah: 54)
Ketika perintah ini kita laksanakan, ketika kita membagikan sedikit rizki Allah kepada mereka yang berhak menerimanya, maka saat itu sesungguhnya kita sedang meneladani akhlak Allah, Ar-Razzaq. Mudah-mudahan kita bisa menjalankannya. 


* Tulisan ini dimuat di Majalah Nebula (eks ESQ Magazine) edisi cetak No. 15/Tahun II/2006

Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking